I.
Pengertian Penganiayaan
Terhadap Anak
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ditinjau dari etimologis Penganiayaan
berasal dari kata dasar “aniaya” yang memiliki arti menyiksa, mempersakiti
dengan bengis. Kemudian kata dasar tersebut mendapat imbuhan pe-an sehingga
menjadi kata “penganiayaan” yang berarti perlakuan sewenang-wenang (penyiksaan,
penindasan dan sebagainya)[1].
Sedangkan menurut Joyce Angel (2009:275) pengertian
dari Penganiayaan terhadap anak adalah sebagai
cedera fisik, psikologis, seksual, atau sosial; perawatan yang tidak benar;
atau bertindak buruk kepada anak, dapat ditelusuri dari orang tua, saudara
kandung, kerabat, teman, para professional, dan orang lain yang berhubungan
dengan anak.
II. Faktor-Faktor Penganiayaan Terhadap Anak
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
penganiayaan terhadap anak. Lippincott Williams dan wilkins (2008:281), Orang
tua yang menganiaya anak mereka sering kali belum dewasa secara emosional dan
sangat miskin, tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga tidk
dapat memenuhi kebutuhan anak. Seperti dalam penganiayaan pasangan, anak yang
dianiaya sering dianggap sebagai hak milik orang tua yang menganiaya. Anak-anak
tidak dihargai sebagai orang yang memmiliki hak dan perasaan. Pasa beberapa
kasus, ornag tua merasakan kebutuhan unutk memiliki anak dengan tujuan
mengganti masa kanak-kanaknya yang mengecewakan. Orang tua ingin merasakan
cinta antara anak dan orang tua yang tidak dimilikinya ketika ia kanak-kanak.
Harapan yang tidak realistis untuk memiliki anak yang akan memebri orang tua
cinta dan memenuhi semua kebutuhan orang tua sering kali dihancurkan oleh
realitas tuntutan membesarkan anak yang sangat besar dalam aspek emosional,
fisik, dan finansial. Ketika harapan orang tua yang tidak realistis ini tidak
dipenuhi, orang tua sering kembali menggunakan metode yang juga digunakan orang
tuanya.
III. Bentuk-Bentuk Penganiayaan terhadap Anak dan Pengabaian Terhadap Anak
Sebagai Salah Satu Bentuk Penganiayaan
Ada empat kategori utama tindak kekerasan
terhadap anak: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan
pelecehan seksual anak. Penulisan makalah ini lebih menekankan pada
permasalahan Pengabaian terhadap anak atau penelantaran anak. Dalam situs
Wikipedia dijelaskan, penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang
bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai
keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup,
pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan
atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) ,
atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
Beberapa fakta mengenai pengabaian terhadap anak di
Indonesia. Aborsi dan pembuangan
anak merupakan salah satu dari kasus penelantaran terhadap anak yang seringkali
terjadi di Indonesia. Seperti beberapa kasusu akhir-akhir ini yang dilaporkan
dalam sebuah situs jogja.tribunnews.com. Telah ditemukan dua jasad bayi di
wilayah Bantul. Setelah sebelumnya ditemukan bayi berjenis kelamin laki-laki di
Kali Opak, Puton, Jetis dalam keadaan masih utuh, Rab(13/6) sekitar pukul
05.30, telah ditemukan mayat bayi berjenis laki-laki di Kali Progo. Fenomena penemuan mayat bayi ini, menurut Kepala Dinas
Kesehatan Bantul, Maya Sintowati Pandji mengatakan, bisa saja mayat bayi itu
adalah janin tak berdosa yang telah diaborsi atau bisa saja lahir normal tapi
tidak dikehendaki, kemudian dibuang.
Kasus lainnya yang merupakan kasusu pengabaian
terhadap anak yaitu kasusu busung lapar. Orang mengabaikan anaknya untuk
mendapatkan makanan dan asupan gizi yang cukup bagi anaknya. Dalam sebuah blog
yaitu http://rockerindahouse.blogspot.com, kasus busung
lapar yang menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun di Indonesia mencapai
angka delapan persen. Sesuai dengan proyeksi penduduk Indonesia yang disusun
Badan Pusat Statistik, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia
mencapai 20,87 juta. Itu berarti saat ini ada sekitar 1,67 juta anak balita
yang menderita busung lapar.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), anak balita
yang menderita busung lapar mencapai 10 persen dari total anak balita. Wakil
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi NTB dr IK Gerudug ketika ditemui di
Kantor Gubernur NTB di Mataram, Jumat (27/5), mengemukakan, sesuai dengan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), di NTB ada sekitar 498.000 anak
balita. Dengan demikian, sekitar 49.000 anak balita di antaranya menderita gizi
buruk atau bahkan busung lapar.
Menurut data Dinkes NTB, para penderita gizi buruk itu
ditemukan di Kabupaten Lombok Timur (175 kasus), Kabupaten Lombok Barat (133),
Kota Mataram (23), dan Lombok Tengah (7).
Di DI Yogyakarta ternyata angka gizi buruknya mencapai
3 persen atau 4.755 anak balita dari total 142.647 anak balita di daerah itu.
Menurut Kepala Dinkes DIY Bondan Agus Suryanto, anak
balita gizi buruk itu tersebar di seluruh kabupaten dan kota, tetapi
konsentrasinya lebih banyak di pesisir pantai di Kabupaten Gunung Kidul dan
Kulon Progo.
IV. Solusi Pencegahan
Kini
tindak kekerasan menjadi tindakan alternatif manakala keinginan dan kepentingan
suatu individu atau kelompok tidak tercapai. Terlebih di Indonesia, kekerasan
melanda di segala bidang kehidupan baik sosial, politik, budaya, bahkan
keluarga. Walaupun tindakan ini membawa kerugian yang besar bagi semua pihak,
angka terjadinya kekerasan terus meningkat dari hari ke hari. Oleh karena itu,
berbagai upaya dilakukan untuk mencegah semakin membudayanya tindak kekerasan.
Upaya-upaya tersebut (sebagaimana dikutip Arif Rohman: 2005) antara lain:
a. Kampanye Anti-Penganiayaan Terhadap Anak
Dilakukannya
kampanye anti penganiayaan terhadap anak secara kontinuitas mendorong orang tua
untuk lebih menyadari akan akibat dari penganiayaan terhadap anak. Melalui
kampanye orang tua dari anak-anak akan mengetahui efek psikologis maupun
kesehatan bagi anaknya.
b. Penegakan Hukum
Sistem hukum yang tidak tegas mampu memengaruhi
munculnya tindak kekerasan. Diberikan tindakan hukum yang sesuai bagi orang tua
yang melakukan penelantaran terhadap anaknya agar mereka jera akan perbuatan
yang telah dilakukan.
c. Pemerintah Peduli Terhadap Rakyat
Sebagian besar penganiayaan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dikarenakan kemiskinan
yang sedang melanda masyarakat. Ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri maupun ankanya menjadi pemicu penganiayaan terhadap anak terutama
pengabaian terhadap anak. Pemerintah seharusnya memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya sehingga rakyat dapat hidup dalam kemakuran dan akan mendorong
perhatian yang lebih kepada anak-anaknya
V.Penutup
Demikianlah pemaparan
penulis tentang pengaiayaan terhadap anak yang lebih menekankan pada tema
pengabaian terhadap anak. Dari pemaparan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa
tindakan pengabaian terhadap anak menjadi sebuah problema yang sedang dialami
di Indonesia. Pengabaian terhadap anak dapat merugikan bangsa kita. Anak-anak
lah yang akan menjadi pemimpin dimasa yang akan dating.
Terakhir penulis mengajak kepada pembaca dan semua elemen
masyarakat untuk menjaga anak-anak bangsa dari tindak penganiayaan. Bangun
bangsa ini dengan menjaga aset bangsa di masa depan yaitu anak-anak. Semoga
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju. Kepada pemerinta agar lebih
terbuka matanya untuk melihat kondisi masyarakat kita yang mengalami banyak
masalah sosial, begitu juga dengan permasalahan pengabaian terhadap anak.
Referensi
Angel,
Joyce. 2009. Pengkajian pediatrik: Seri
pedoman praktis,Ed. 4. Jakarta. EGC
Williams,
Lippincott. 2008. buku ajar keperawatana
jiwa. Jakarta. EGC
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak#Penelantaran
27 juni 2012 12:31 pm
http://jogja.tribunnews.com/2012/06/14/dua-pekan-dua-jasad-bayi
27 juni 2012 12:31 pm
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1989) 40.
No comments:
Post a Comment