I.
PENGANTAR
Sastra
Arab merupakan salah satu warga sastra dunia yang tidak asing lagi bagi para
peneliti sastra dunia. Tradisi kesusastraan Arab yang tertua dan terkokoh
adalah puisi atau asy-syi’r. (Pradopo. 2005: 7) mendefinisikan puisi sebagai
perpaduan antara emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca
indera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur
baur. Semuanya itu terungkap dengan media bahasa.
Secara
Ilmiah, balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada
kejerniahan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan
yang samar di antara macam-macam uslub ungkapan ( Amin. 2006:6)
Ilmu
balaghah mempunyai objek kajian. Objek kajian ilmu dirintis oleh Abdul Qahir al-Jurjani,
dilanjutkan oleh As-Sakaki, dan dimantapkan lagi oleh Khatib al-Qazwaini. Dalam
kitab Talkhisul Miftah yang dikutip oleh Abdul Jalal, beliau menjelaskan
macam-macam ilmu Balaghah sebagai berikut:
a) Ilmu
Ma’ani, yang membahas segi lafal Arab yang relevan dengan tujuannya.
Definisinya yaitu :
“Ilmu Ma’ani ialah ketentuan-ketentuan pokok
dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang
sesuai dengan keadaan dan relevan dengan tujuan pengungkapannya”.
b) Ilmu
Bayan, yang membahas segi makna lafal yang beragam. Definisinya yaitu :
“Ilmu Bayan ialah beberapa ketentuan pokok dan
kaidah yang dengannya dapat diketahui penyampaian makna yang satu dengan
berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan kejelasan tunjukan makna antara
satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam tersebut”
c) Ilmu
Badi’, yang membahas keindahan kalimat Arab. Definisinya yaitu:
“Ilmu Badi’ ialah suatu ilmu yang dengannya
dapat diketahui bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai
keindahan dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat
memperbagus dan mepermolek ungkapan itu, disamping relevansinya.
Pada
makalah ini penulis mencoba meniliti salah satu puisi karangan Nizar Qabani yang
berjudul حِيْنَ أَكُوْنُ عَاشِقًا kemudian
penulis akan menganalisis secara komprehensif qimah balaghiyyahnya (unsur-unsur
balaghah) yang terdapat padanya.
II.
PEMBAHASAN
حِيْنَ أَكُوْنُ عَاشِقًا
(الشاعر
نزار قباني)
Ketika Aku Menjadi
Pecinta
(Nizar Qabbani)
حِيْنَ أَكُوْنُ عَاشِقًا
أَشْعُرُ أَنِّي مَلِكُ الزَّمَان
أَمْتَلِكُ الأَرْضَ وَمَا عَلَيْهَا
وَأَدْخُلُ الشَّمْسَ عَلَى حِصَانِي
H}i@na aku@nu ‘a@syiqon
As’uru anni@ maliku
az-zama@n
Amtaliku al-arda wa ma@
‘alaiha@
Wa adkhulu as-syamsa
‘ala hiso@ni@
ketika aku menjadi
pecinta
aku merasa menjadi
penguasa waktu
kumiliki bumi dan segala
isinya
dan berkendara kuda
menembus matahari
*****
حِيْنَ أَكُوْنُ عَاشِقًا
أَصْبَحُ ضَوْءًا سَائِلاً
لاَ تَسْتَطِيْعُ العَيْنُ أَنْ
تَرَانِي
وَتَصْبَحُ الأَشْعَارُ فِي
دَفَاتِرِيْ
حُقُوْل مَيْمُوْزَا وَأُقْحُوَان
H@}ina akunu@ ‘a@siqon
Asbah}u d}auan sa@ilan
La@ tast}atiu al-‘aynu
an tarani@
Wa tas}bahu al-as’aru
fi@ dafatiri@
Huqu@lun maymuza@ wa
uqhuwan
ketika aku menjadi
pecinta
aku menjadi cahaya yang
cair
yang tak terlihat oleh
mata
dan puisi-puisi dalam
catatanku
menjadi ladang mimosa
dan apiun
*****
حِيْنَ أَكُوْنُ عَاشِقًا
تَنْفَجِرُ المِيَاهُ مِنْ أَصَابِعِيْ
وَيَنْبُتُ العُشْبُ عَلَى لِسَانِي
حِيْنَ أَكُوْنُ عَاشِقًا
أَغْدُوْ زَمَانًا خَارِجَ الزَّمَانِ
H}i@na aku@nu ‘a@siqon
Tanfaziru al-miya@hu min
as}a@bi’i@
Wa yanbutu al-‘usybu
‘ala lisa@ni@
H}i@na aku@nu ‘a@siqon
'Agdu@ zama@nan kha@rija
az-zama@n
ketika aku menjadi
pecinta
air memancar dari jemariku
dan rerumput tumbuh di
lidahku
ketika aku menjadi
pecinta
aku menjadi waktu di
luar semua waktu
*****
(Di ambil dari beberapa
bagian potongan sajak (25-27-28) dalam “Kitab Al-Hub”/”Buku Cinta” karya Nizar Qabbani)
Isti’aarah sendiri
adalah salah satu bagian dari majaz lughawi, yang dimana tasybih yang dibuang
salah satu tharafnya. Oleh karena itu, hubungan antara makna hakiki dengan
makna majazi adalah musyabbah selamanya. Isti’aarah ada dua macam, yaitu:
a. Tashrihiyyah, yaitu isti’aarah yang
musyabbah bih-nya ditegaskan.
b. Makniyyah, yaitu isti’aarah yang
dibuang musyabbah bih-nya dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat
khasnya.
Tasybih dhimni adalah
tasybih yang kedua tharafnya tidak dirangkai dalam bentuk tasybih pada umumnya,
melainkan keduanya hanya berdampingan dalam susunan kaliamat. Tasybih jenis ini
didatangkan untuk menunjukkan bahwa hokum (makna) yang disandarkan kepada
musyabbah itu mungkin adanya. (61).
وَأَدْخُلُ الشَّمْسَ عَلَى حِصَانِي
dan berkendara kuda
menembus matahari
الشَّمْسَ pada bait
di atas merupakan isti'aroh tasrihiyah karena musyabbah bihnya terlihat jelas. الشَّمْسَ juga termasuk isti’aroh asliyyah karena
bentuk dari musyabbah bih berupa isim jamid.
وَتَصْبَحُ الأَشْعَارُ فِي
دَفَاتِرِيْ (musyabbah )
حُقُوْل
مَيْمُوْزَا وَأُقْحُوَان (musyabbah
bih)
dan puisi-puisi dalam catatanku
menjadi ladang mimosa dan apiun
Bait diatas merupakan tasybih baligh atau dimnii
karena musyabbah dan musyabbah bihnya berbentuk kalimat.
وَيَنْبُتُ العُشْبُ عَلَى لِسَانِي
dan rerumput
tumbuh di lidahku
Pada bait di atas merupakan isti'aroh tasrihiyah
karena musyabbah bihnya terlihat jelas.
III.
KESIMPULAN
Puisi merupakan genre sastra
yang sangat penting bagi kesusastraan arab. Keindahan bahasa puisi berkaitan
dengan Balaghah sebagai salah satu cabang ilmu kesusastraan Arab. Pada puisi Nizar Qabani diatas terdapat
beberapa unsur-unsur balaghah seperti tasybih dan isti’arah. Semoga penjabaran unsur-unsur balagah puisi
diatas dapat bermanfaat bagi pembaca.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Amin, Musthafa. 2006. Terjemahan Al-Balaghatul
Waadhihah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
(Tugas Mata Kuliah Balaghah)
No comments:
Post a Comment